Friday 21 July 2017

[Resensi] Ayah oleh Andrea Hirata

Judul Buku           : Ayah
Penulis                 : Andrea Hirata
Penerbit                : PT. Bentang Pustaka
Halaman              : 412
ISBN                    : 978-602-291-102-9
Cetakan I             : Mei 2015

Saya selalu mengagumi keahlian Andrea Hirata menceritakan detail atau latar di tiap kisah yang ditulisnya. Tidak terlewat, dari buku berjudul Ayah yang satu ini. Barangkali benar jika Andrea Hirata selalu membuat pembacanya kemudian mengagumi Belitong, bahkan sebelum kita sempat ke sana.

Di sebuah desa bernama Belantik, Pulau Belitong, semuanya dimulai. Seorang lelaki bernama Sabari cinta mati dengan perempuan bernama Marlena, yang pertama ditemuinya saat ujian masuk Sekolah Menegah Atas Negeri. Ia tidak pernah berpaling dari gadis ayu yang biasa dipanggil Lena tersebut, meski perlakuan buruk kerap diterimanya, meski ketiga sahabatnya yang bernama Ukun, Tamat, dan Toharun, telah menyuruhnya melupakan Lena. Bahkan saat bertahun kemudian Lena justru hamil di luar nikah, Sabari rela menumbalkan diri untuk menikahi Lena, demi menyelamatkan nama baik keluarga dari wanita pujaannya itu.

Sabari—yang diberi nama demikian oleh Ayahnya dengan harapan bahwa ia bisa selalu sabar—dengan lapang dada memberikan kasih sayang tiada tara untuk anak yang dipanggilnya Zorro, meski bukan anak kandungnya. Satu demi satu sumber kebahagiaan Sabari terenggut, setelah Lena, wanita yang diperistrinya tersebut akhirnya menggugat cerai Sabari dan mengambil paksa Zorro saat anak itu baru berusia tiga tahun. Kesedihan Sabari menjadi-jadi, hingga bertahun kemudian ia terus berharap anak kesayangan yang baginya memiliki pelukan serupa awan itu kembali.

Cerita Andrea Hirata yang satu ini sangat kompleks, mengalir tak terduga. Runtutan cerita yang maju-mundur seolah mengajak pembaca merangkaikan sendiri puzzle-puzzle yang berserakan, seakan menunggu kita merampungkan cerita hingga mendapati pesan indah betapa kasih sayang Ayah kepada anak juga tidak kalah besar dari kasih sayang seorang ibu kepada anak, seperti yang kerap dibicarakan orang kebanyakan.

Tidak hanya cerita tentang hubungan antara orangtua dan anak yang bisa ditemukan dalam kisah ini, namun juga kegigihan dan dedikasi dalam menjalankan sesuatu, haru biru persahabatan, cinta tulus yang tidak mengharap pamrih, bahkan hal-hal yang awalnya terkesan sepele seperti betapa pentingnya kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Ya, dalam buku Ayah, diselipkan cerita mengenai Ukun dan Tamat yang dibekali kamus oleh mantan guru Bahasa Indonesia mereka, saat hendak melakukan perjalanan menyusuri Sumatra demi menemukan Lena dan Zorro yang bertahun-tahun tiada rimbanya.

Yang saya suka, Andrea Hirata juga menyelipkan pesan, atau bisa dibilang mengungkapkan keprihatinannya, akan semakin tipisnya generasi sekarang yang berkirim surat dengan sahabat pena. Hal tersebut diceritakan dengan renyah melalui kecintaan Lena berkirim surat dengan para sahabat penanya.

Selain itu, cerita menarik lain terselip dan bermula dari pesan alumunium yang dikirim Sabari untuk menemukan Zorro lewat seekor penyu. Cerita yang kemudian—bagi saya—menambah haru buku yang satu ini; mengenai anak-anak suku Aborigin yang pernah mengalami masa suram, terpisahkan dengan sanak saudaranya.


Bagi saya, cerita yang dibawakan Andrea Hirata melalui tokoh-tokohnya yang sederhana, yang sebagian besar menggambarkan orang-orang dari kalangan kurang berada, yang kerap dipandang sebelah mata itu justru memberi kita peluang untuk terus belajar dari hidup, melihat lebih awas dan menyukuri lebih dalam untuk tiap detail cerita ada.

Monday 17 July 2017

[Resensi] Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi oleh Eka Kurniawan

Judul Buku          : Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi
Penulis                 : Eka Kurniawan
Penerbit               : PT. Bentang Pustaka
Halaman              : 170
ISBN                    : 978-602-291-072-5
Cetakan I             : Maret 2015

Hari itu sebenarnya saya tidak berencana membeli buku. Anehnya, setiap kali langkah saya berbelok memasuki toko buku, sekonyong-konyong saya pun tidak bisa menolak keinginan untuk menyamber paling tidak sebuah buku. Dan begitulah, saya terpukau dengan sampul dan judul panjang sebuah buku yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka; Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi. Untuk sebuah judul, buku yang merupakan kumpulan cerpen karya Eka Kurniawan ini terbilang tidak biasa. Saya maklum, penulisnya saja tidak biasa. Saat mengikuti forum diskusi terbuka dari Ubud Writers & Readers Festival tahun 2015 lalu, di mana si penulis buku menjadi salah satu panelisnya, Eka Kurniawan sudah mendapat julukan tersendiri; A Writer to Watch.

Penuturan Eka Kurniawan yang jujur dan polos saat menceritakan kisah perjalanan panjang dalam dunia sastra dan menulisnya kala itu, tidak jauh berbeda dengan kejujuran alur cerita dari tiap cerpen dalam buku ini.

Dengan apik, Eka Kurniawan berdongeng melalui cerpen-cerpennya, membuat saya terpental ke sebuah masa, bahkan tempat yang berbeda. Ceritanya lugu dan sebenarnya sangat umum terjadi. Namun, justru keluguan cerita yang dibalut dengan satir dan metafora tersebutlah yang menjadikan setiap halaman demi halaman buku ini terasa istimewa.

Dimulai dari Gerimis yang Sederhana, melalui cerpen pertamanya, seolah Eka Kurniawan ingin menceritakan sebuah kekacauan di suatu masa sebagai bagian dari memori si tokoh utama. Penamaan tokoh Mei dan masa kelam di negara tempat dulunya ia tinggal-Indonesia-pada tahun 1998, justru membuat saya bertanya; Apakah Eka Kurniawan sebenarnya ingin menyinggung cerita kelam para gadis keturunan Tinghoa yang sempat diperlakukan tidak layak di Indonesia kala itu? Jika demikian, cerdas sekali cara menyusupkan pengetahuan tersebut meski inti ceritanya justru sangat sederhana. Sesederhana seorang pria yang sudah menikah dan melepas cincin pernikahannya sebelum bertemu dengan seorang wanita kenalan barunya.

Ya, cerpen-cerpen Eka Kurniawan dalam buku yang satu ini bergulir seperti cerita sehari-hari sekaligus dongeng. Gincu Ini Merah, Sayang dengan gamblang menggambarkan perbedaan pola pikir lelaki dan perempuan, yang diceritakan lewat kisah pasangan suami istri yang dulunya merupakan pelanggan dan pelayan. Dari ini, saya mengaminkan saja bahwa drama yang terjadi tersebut sangatlah masuk akal. Bukankah katanya lelaki dan perempuan memang berasal dari ‘planet’ yang berbeda?

Mengenai cerpen yang kemudian dijadikan Eka Kurniawan sebagai judul buku ini, tidak kalah mencuri perhatian saya. Barangkali karena menyangkut mimpi, saya suka cita saja membacanya. Saya tergelitik dengan kisah perempuan yang bergerak untuk menemukan cinta sejati setelah melihat pertanda dari mimpi-mimpinya. Barangkali tidak masuk akal, tapi saya menyukai kegigihannya. Segigih Santiago-tokoh Paulo Coelho dalam Sang Alkemis-yang memulai perjalanan untuk mencari harta karun dekat piramida hanya karena pernah memimpikannya.

Selain tiga inti dari cerpen yang telah saya ulik di atas, ada dua lainnya yang berkesan. Teka Teki Silang yang mendebarkan dan membuat saya berharap ceritanya bisa lebih panjang, serta Pengantar Tidur Panjang yang mengharukan, di mana si tokoh utama juga digambarkan sebagai lulusan Ilmu Filsafat, sama seperti si penulis dalam kehidupannya.

Tentu saja, saya tidak bisa mengulas satu persatu cerpen dalam buku ini. Yang pasti, Eka Kurniawan tidak hanya sukses mengetikkan huruf dan merajut kata. Ia memberi pengetahuan terselubung, pemikiran baru, senyum di sudut bibir, dan gelengan kepala heran tidak percaya, bahwa kumpulan cerpen yang diangkat dari kisah sehari-hari bisa saja semenarik ini. 

Saturday 15 July 2017

[Resensi] Negeri van Oranje

Judul Buku          : Negeri van Oranje
Penulis                 : Wahyuningrat, Adept Widiarsa, Nisa Riyadi, Rizki Pandu Permana
Penerbit               : PT. Bentang Pustaka
Halaman              : 478
ISBN                    : 978-979-1227-58-2
Cetakan I             : April 2009

Jika ada sebuah negara yang ingin saya kunjungi, boleh jadi Belanda berada di urutan pertama. Barangkali, saya terlampau silau dengan cerita kincir angin yang megah, bunga tulip yang indah, atau lalu-lalang sepeda yang katanya hampir selalu ada di tiap sudut kotanya.

Untuk itu, senang sekali rasanya membaca buku berjudul Negeri van Oranje karya empat penulis yang merupakan mantan mahasiswa di negeri kincir angin itu.

Negeri van Oranje berkisah mengenai persahabatan lima orang warga Indonesia dengan latar belakang berbeda yang dipertemukan di sebuah stasiun kereta di Belanda. Terjebak karena badai, yang awalnya dirasa bencana berubah menjadi anugrah nyata, saat kelima mahasiswa yang tinggal di kota berbeda itu kemudian menjalin hubungan erat selama di Belanda.

Lintang, Banjar, Wicak, Daus, dan Gery. Persahabatan mereka tidak bisa dibilang sempurna, terutama saat kelimanya bergelut dengan rumitnya urusan hati.

Padat, renyah, dan kocak. Cerita persahabatan dan romansa para mahasiswa itu tidak hanya mengedepankan alurnya, namun juga pengetahuan dan gambaran mengenai cara bertahan hidup di Belanda sebagai seorang mahasiswa. Di sela halaman, pembaca bisa menemukan tutorial atau tips yang sangat berguna, terutama bagi mereka yang memang berencana melanjutkan kuliah di sana. Manis getirnya menjadi mahasiswa Indonesia di daratan Eropa juga sedikit banyak dibocorkan dalam buku yang telah diangkat ke layar lebar ini.

Setiap tokoh jelas digambarkan meski tetap ada kejutan di antaranya. Dari sosok Gery yang misterius hingga akhir cerita yang tidak terduga, saya akui bahwa keempat penulis buku ini telah sukses membuat saya mengaga. Saya sendiri mengagumi gagasan menulis satu buku secara bersama-sama. Jarang sekali saya menemukan buku seperti ini. Biasanya lebih sering menemukan kumpulan cerpen dari beberapa penulis dibandingkan dengan sebuah buku atau novel yang ditulis beberapa penulis secara bersama.


Friday 14 July 2017

[Movie Review] Smile - 1975

Behind Every Smile of Beauty Contestants

Judul                      : Smile
Jenis Film              : Drama, Komedi
Pemeran                 : Bruce Dern, Melanie Griffith, Barbara Feldon, Annette O'Toole, Michael Kidd, Colleeon Camp, Geoffrey Lewis, Joan Frather, Nicholas Pryor, Eric Shea, Denise Nickerson, Caroline William, William Taylor
Sutradara               : Michael Ritchie
Penulis Naskah     : Jerry Belson
Produser                : Michael Ritchie
Distributor             : United Artists
Tahun                    : 117 menit
Durasi                   : 1975

****

Ternyata, tidak terlalu banyak film yang mengulas tentang hal-hal yang terjadi di balik layar sebuah kontes kecantikan. Film yang disutradarai oleh Mitchel Richie ini merupakan film pertama Amerika Serikat yang mengangkat tema tersebut. Smile (1975) merupakan satir yang lucu yang menunjukkan hal nyata, namun tanpa membuat manusia tidak manusiawi lagi. Komedi sosial seperti ini biasanya digunakan untuk mengungkapkan fakta yang tidak menyenangkan dengan cara yang ‘halus’, alih-alih untuk menguburnya. Film ini mendapatkan rating 7.2/10 di IMDb serta pernah masuk dalam nominasi Writers Guild of America Award for Best Original Comedy.

Smile (1975) bercerita tentang kelompok masyarakat di mana optimisme dan pemikiran positif bisa dikatakan hampir sejalan dengan sistem politik yang ada, yang berimbas pada keputusan dalam menentukan sebuah pilihan, dengan kenyataan bahwa tujuannya cenderung hanya untuk bersenang-senang.

Diawali dengan adegan pemilihan para kontestan muda yang sedang mengikuti seleksi memperebutkan tempatnya dalam Young American Miss Pageant di Santa Rosa, California, film ini kemudian merepresentasikan empat hari karantina dengan berbagai uji coba. Para kontestan ajang kecantikan yang masih remaja ini dinilai dari berbagai aspek; kecantikan, bakat, perilaku, dan interaksi sosial yang mereka jalin selama karantina berlangsung.

Ini adalah komedi yang terdiri dari belasan sketsa mengenai Bob; koordinator kontes yang diperankan oleh Bruce Dern, Brenda DiCarlo; seorang wanita cantik, agak konyol, namun kerap panik yang diperankan oleh Barbara Feldon; Andy, suami Brenda yang akhirnya memilih bunuh diri karena putus asa dengan istrinya yang terlalu sibuk, beberapa peran lain di balik ajang kecantikan tersebut, hingga para kontestan yang cukup menonjol.

Tiga aktris muda berhasil memerankan sosok yang cukup menonjol: Maria O’Brien sebagai kontestan keturunan Meksiko-Amerika yang paling bersemangat namun manipulatif, Joan Prather sebagai kontestan tenang di antara yang lain, dan Annette O’Toole sebagai kontestan yang paling mudah putus asa. Selain itu, ada pula Colleen Camp dan Melanie Griffith yang memerankan sosok kontestan yang penuh dendam.

Beberapa momen terbaik dari Smile (1975) adalah adegan-adegan yang menggambarkan persahabatan yang berkembang antara Robin (Joan Prather) dan Doria Houston (Annette O’Tolle) yang merupakan teman sekamarnya. Bagaimana Robin yang selalu berusaha memberikan dukungan untuk Doria yang kurang percaya diri.

Setidaknya dengan melihat film ini kita mengerti gambaran dalam sebuah kontes kecantikan; bahwa yang terlihat di layar kaca adalah hasil perjuangan para kontestannya untuk selalu tampil terbaik, bahwa banyak hal yang dialami oleh para kontestan untuk memperebutkan mahkotanya, bahwa bagaimana pun mereka harus tetap tersenyum.


Thursday 29 September 2016

Book Review: The Girl on The Train by Paula Hawkins




Judul buku : The Girl on The Train

Penulis       : Paula Hawkins


Buku yang ditulis oleh mantan jurnalis kelahiran Zimbabwe ini merupakan sebuah thriller psikologis yang cukup unik. Menggunakan sudut pandang orang pertama dari beberapa tokoh, sebenarnya metode penulisan fiksi seperti ini sudah saya kenal sejak pertama membaca buku karya Nicole Krauss berjudul The History of Love beberapa tahun yang lalu. Setiap tokoh memiliki sudut pandang terfokus dan subyektif. Tentu saja pembaca harus menempelkan sendiri potongan-potongan cerita yang kepastiannya tidak bisa diyakini 100%.
Dalam buku yang telah mendapat salah satu penghargaan dari situs Goodreads pada tahun 2015 ini, Hawkins menampilkan tiga tokoh wanita yaitu Rachel; si pemabuk yang terkadang hilang kendali dan kehilangan memorinya, Megan; wanita misterius yang selalu dilihat Rachel melalui jendela kereta, dan Anna; istri baru dari mantan suami Rachel yang tinggal tidak jauh dari bekas rumah Megan. Ketiganya, meskipun pada awalnya sulit dipercaya, memiliki ujung dari benang merah yang harus disambung sendiri oleh pembaca yang memutuskan untuk membuka halaman pertama buku ini.

Sebenarnya, saya tidak terlalu menyukai cerita thriller psikologis atau misteri semacam ini. Buku The Girl on The Train saya pinjam dari seorang teman. Dia bilang, ia bisa membacanya hanya dalam waktu dua hari! Tempo alurnya tentu sangat cepat dan tidak stagnan, pikir saya saat itu. Kenyataannya, saya baru bisa menyelesaikan buku ini dalam waktu kurang lebih dua bulan. Saya hanya mampu membacanya di sela-sela waktu luang saja. 

Tidak terduga! Ya, akhir cerita fiksi ini berakhir dengan kesimpulan yang benar-benar jauh dari yang dibayangkan sebelumnya. Tokoh utama dalam cerita ini, seharusnya si Rachel pemabuk yang telah ditingalkan suaminya demi wanita lain yang lebih menarik, tetapi bukan demikian. Justru Megan yang terlihat baik-baik sajalah, pemicu keributan dan misteri panjang tidak berkesudahan dalam cerita ini.
Rachel dikenal sebagai seorang pemabuk, setiap hari menegak alkohol sebagai pelariannya akan kekecewaan terhadap hidupnya yang mendadak berantakan. Dia dicerai suami tercintanya, Tom, yang lebih memilih berselingkuh dengan Anna hingga menikah dan memiliki bayi mungil bernama Evy. Rachel yang gamang harus keluar dari rumahnya sendiri, rumah nomor 23 di kawasan suburn London, yang terletak di pinggir rel kereta. Setiap pagi dan petang, Rachel masih bisa melihat bekas rumahnya melalui jendela kereta yang membawanya menuju London untuk bekerja atau pura-pura bekerja.

Tidak jauh dari bekas rumahnya yang kini ditinggal Tom dengan istri barunya, ada sebuah rumah yang ditinggali oleh sepasang muda yang kelihatannya memiliki kehidupan rumah tangga yang sempurna. Si pasangan yang ia namai dengan Janet dan Jason ini kemudian diketahui bermana Megan dan Scott. Kereta Rachel kerap terhenti di dekat rumah nomer 15 milik Megan dan Scott, hanya selama beberapa detik atau menit karenan gangguan sinyal. Setiap hari, Rachel berangan-angan, mengarang sendiri cerita bahagia mengenai pasangan ini, hingga akhirnya ia melihat sesuatu yang membuatnya berubah mengenai pasangan tersebut. Janet, atau sebenarnya Megan, mencium seorang lelaki yang diyakini Rachel bukanlah Jason atau Scott.

Beberapa hari setelah itu, kabar mengenai Megan yang hilang tersebar. Entah mengapa Rachel mempunyai beban untuk menyampaikan sesuatu yang pernah dilihatnya pada Scott Hipwell. Ia tahu bahwa tuduhan akan hilangnya Megan juga akan mengarah pada Scott, lelaki malang yang bahkan tidak tahu jika isrinya selingkuh. Memori dan rasa sakit akan sebuah perselingkuhan yang pernah dialaminya mendasari tindakan-tidakan Rachel selanjutnya, menyusup ke dalam kasus dan cerita hilangnya  Megan. 

Yang harus dipecahkan Rachel adalah dalang dari pembunuh Megan. Apakah Scott atau selingkuhan Megan yang masih misterius?

***

Dalam skala 1-10, secara personal saya memberi nilai 7.5 untuk buku ini. Atas kesuksesan The Girl on The Train dalam meraih minat pasaran, Dreamworks Studio kemudian menggarap filmnya. Yap! Awal bulan Oktober 2016 mendatang, filmnya akan dirilis pertama di Amerika Serikat. Apakah nanti hasil visualnya akan semenarik cerita Gone Girl? Semoga. :)


Wednesday 13 April 2016

Internship

A word, that suddenly came out of mind mind this afternoon is "internship". Yes, but I don't really know why.

As I remembered, I did internship twice. To act like a teacher for elementary school students for three months and also front desk agent in a three star hotel for three months too. It's funny how I chose that two internships when now I end up being an editor of a lifestyle magazine in this paradise island. I'm lucky, maybe? More than that..

Wait, so what's the point now? To be honest, I am in my boredom now. I just stared on my intern at my office and knew how she felt too. Don't force me for not giving her too much jobs, well.. it's kinda difficult to be explained, um.. okay forget then.

I just want to smile, remembering the good and bad things I did in my past.

Internship 1: English Teacher

I was a tutor, English tutor. I started to be a tutor, joined a education institution in my 4th semester. To early? Well, I was that 'smart' enough to teach children how to do proper English that time. Then.. when almost all of my friend chose to do an internship in Tourist Information Center, I chose to do what I am expert in; teaching. I can make syllabus, I can stand in front of the class being a center of attention, I can make them stare at me. I don't know why I was that awesome. Hahaha.

Three months. Well, not really three months. I taught three class a week for three months in an elementary school near Palace complex in my hometown, Yogyakarta. It was an awesome experience. Even now, I can still hear their voice greeting my name; "Good morning, Miss Tiara!" God, it seems like I miss to be the center of attention and receive a lot of attention now. Ups!

Internship 2: Front Desk Agent

I thought hospitality industry was a big industry that keeps growing anyway, and yes it is. That's the only reason why I let myself to 'try' and 'feel' the hospitality atmosphere. I am good in English, at least compared to my friends that time. I can speak and listen well, so humble and nice to everyone, then the hotel where I put my CV let me join in Front Office Department.

It was one of the hardest three months in my university life. I learnt all the stuffs from filling document, online and phone reservation, hotel system, too many stuffs! Regret? Not at all. At least I know how it feels to work in hospitality industry, so then later on when I want to come back I know how to handle it well. In the first two weeks I wanted to give up, but there are two people who keeps me stay. One of them is myself, who keeps telling myself that I can do anything, to finish what I already started. Well, I guess I learn how to terribly survive from my second internship then. How, naif.


Now, I am not an intern anymore. I met some interns under my supervise in this office since a year ago; Annelies from Groningen, Saras and Karin from Bandung, Amy from Utrecht, and now Nikki also from Groningen. I hope I gave them enough good things to learn for their lives.

*Backsound 7 Years by Luke Graham* lol


Saturday 26 March 2016

Malam memekat, anak kelinci keluar berlarian sambil membawa telur-telur angsa. Bulan malu-malu menampakkan sisa sinarnya. Ia sudah kelelahan setelah purnama kadasa.

Aku masih saja menulis daftar belanja, menimang-nimang apa saja yang harus aku bawa. Hatiku, atau keyakinanku yang kian berada dalam batas tipis nestapa. Keluh hanya akan menjadi beban selanjutnya jika tidak ditanggapi dengan bijaksana. Aku masih percaya, doa sudah berhasil melipat-lipat jarak yang sesungguhnya ada di antara aku dan dia. Barangkali baru kali ini aku menulis tentangnya, meskipun setiap detik potongan wajahnya terus saja berseliweran mengganggu konsentrasi kerja. Yang tentu, tak perlu dikutuk barang sedikit saja.

Pernah aku tulis surat untuknya, setelah adu prasangka yang tidak hanya menyiksa tapi juga menggeser setiap kata iya. Entah sejak kapan aku mulai memperhatikannya. Bisa jadi dulu sekali, bahkan sebelum sempat bersua. Entah sejak kapan juga Tuhan merencanakan kebersamaan aku dan dia. Bisakah selamanya? Ya, seperti sempurna, tidak ada rumus bisa untuk selamanya. Tapi paling tidak, sampai habis masa kita di dunia.

Pernah terangkum kata, jika berdampingan dengan penulis dan ia tidak pernah menulis tentangmu, maka bisa jadi tidak benar-benar cinta. Ah, si penulis sudah melantur saja.

Ada penat yang enggan pergi dari meja kerja. Ada rindu yang tertahan di satu tombol saja. Aku hanya bisa berdoa, hingga nanti ia sudi membaca setiap halaman yang belum sempat aku tulis tentangnya. Hingga terhapus sudah tanda tanya. Hingga mengerti juga ia dengan nanti yang datang terbata-bata.

Ingin mengucur tangis, tapi tertahan saja di pelupuk mata. Barangkali aku yang terlalu jahat mengulur waktu berlama-lama. Atau barangkali waktu yang jahat sudah mempertemukan kita. Tiba-tiba jemari tidak ingin berhenti menari dan berbisik tentangnya. Barangkali rindu sedang ranum-ranumnya, tapi aku bisa apa? Masih harus menunggu tiga puluh tiga hari sebelum tiba pertemuan selanjutnya.